Sobat Grafika, Indonesia adalah salah satu produsen kertas terbesar di dunia (10 besar). Namun sungguh ironi, ekspor barang cetakannya kalah jauh dengan negara-negara tetangga yang nota bene tidak punya hutan seluas hutan Indonesia. Menurut Presiden Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia, Jimmy Juneanto, seperti di lansir Bisnis.com, mengatakan Singapura saja ekspor barang cetakannya bisa mencapai US$1,66 miliar, Thailand US$1,6 miliar dan Malaysia US$330 juta. Mengapa Indonesia hanya mampu mencapai angka US$200 juta? Padahal Indonesia punya hutan sendiri dan pabrik kertas sendiri.
Tahukah sobat Grafika, usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah cara Indonesia berbisnis kertas masih kalah canggih dengan negara-negara tetangga. Indonesia lebih banyak mengekspor kertas sebagai bahan mentah sementara negara tetangga mengekspor kertas setelah menjadi barang cetakan yang nilainya tentu lebih tinggi dari sekedar kertas. Mereka membuat nilai tambah sehingga meskipun bahan mentah kertas berasal dari Indonesia tetapi mereka tetap mendapatkan nilai ekspor lebih tinggi.
\
Produksi pabrik kertas nasional saat ini mencapai 12,9 juta ton per tahun, di mana empat juta ton di antaranya untuk memenuhi permintaan ekspor. Maka, untuk memperkuat daya saing industri grafika nasional, pemerintah perlu meningkatkan ekspor kertas dalam bentuk barang cetakan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dibandingkan hanya kertas.
Potensi ekspor produk cetakan Indonesia, ujarnya, masih sangat besar. Kendati teknologi percetakan yang digunakan belum secanggih Thailand, namun, produsen dalam negeri terus meningkatkan penggunaan teknologi sehingga bersaing ketat dengan Singapura, Malaysia dan Vietnam.
Kendati demikian, secara umum kondisi industri grafika nasional saat ini cukup stabil. Ekonomi global yang tengah lesu tidak berdampak signifikan pada kinerja sektor. Karena, selama ini kinerja industri grafika digerakkan oleh konsumsi masyarakat dan pemerintah.
Kinerja konsumsi kertas pada kuartal I/2015 masih mencapai 2,7 juta ton dan kuartal kedua diperkirakan berada pada rentang yang sama. Dengan demikian, kinerja industri grafika dalam negeri secara tahunan masih dapat menyerap kertas di atas 10 juta ton.
Optimisme kinerja yang positif juga didorong oleh depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang tidak berdampak pada peningkatan ongkos produksi. Pasalnya, kelesuan ekonomi global yang menyebabkan permintaan kertas menurun telah menjaga harga kertas internasional stabil.
Yang mengalami tekanan adalah industri kertas. Saat ini pasokan yang berlimpah di produsen kertas dalam negeri disiasati dengan berbagai cara agar produk dapat diserap pasar, salah satunya tidak menaikkan harga di saat depresiasi rupiah, katanya.
Secara umum, lanjutnya, laju pertumbuhan industri ini berjalan linier dengan ekonomi nasional. Tekanan kinerja pada satu bulan terakhir lebih diakibatkan masa pembatasan truk angkutan barang yang diberlakukan tujuh hari sebelum dan sesudah lebaran oleh pemerintah.
Kondisi saat ini, lanjutnya, industri grafika dalam negeri menilai pemerintah kurang memberikan perhatian dan pembinaan kepada pelaku usaha. Dia membandingkan, kendati ekspor produk cetakan Korea Selatan pada tahun lalu hanya sekitar US$280 juta, pemerintah memberikan dana pengembangan sebesar US$2 juta.
sumber data : bisnis.com